Ihlul Muhtadin Tokoh Pemuda Kecamatan Sindue, Kabupaten Donggala, Provinsi Sulawesi Tengah
in

Penerapan Politik Demagogi: Antara Kaum Narsisme dan Kaum Populisme

~ Advertisements ~

Demokrasi pada hakikatnya adalah dasar penempatan kekuasaan politik tertinggi berada di tangan rakyat sebagai pemberi mandat kepada para pemangku kebijakan yang terpilih. Namun, demokrasi di Indonesia cenderung penerapannya tidak berkesesuaian dengan ruh dari demokrasi itu sendiri, dikarenakan para aktor politiknya tidak memaknai secara serius dan mendalam hakikat dari demokrasi itu sendiri.

Bagi bangsa Indonesia, demokrasi masih menjadi sistem terbaik dalam menjalankan roda pemerintahan, juga dalam penerapan kehidupan sehari-sehari sebagai suatu bangsa yang merdeka.

Rakyat Indonesia masih mempercayai dan meyakini bahwa demokrasi sebagai jalan terbaik dalam penyelenggaran sistem kenegaraan dibandingkan dengan sistem monarki, tirani maupun otoritarianisme yang cenderung tertutup, sewenang-wenang, serta menyerang lawan politik bukan melalui narasi dan opini politik yang mendidik, malah cenderung menindas rakyat yang tidak berdaya. Inilah salah satu alasan sehingga demokrasi masih menjadi sistem terbaik di Indonesia.

Namun, pertanyaan adalah apakah demokrasi dalam penerapannya masih relefan atau tidak?

Pertanyaan ini muncul di benak penulis seiring adanya ekspansi gerakan yang ditandai dengan munculnya tagar ‘Darurat Demokrasi’.

Manufer politik ini diciptakan ketika demokrasi diracuni oleh setiap kebijakan pemerintah yang tidak berkesesuaian dengan kebutuhan hidup masyarakat, serta memanfaatkan instrument kekuasaan sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan politik semata.

Bahkan di era saat ini, sering terjadi pembegalan partai politik secara sepihak, yang dalam prakteknya tidak mengendepankan narasi dan opini politik yang mendidik, “saling tuduh satu sama lain” yang sifatnya hanya mengandalkan sentiment politik semata “tidak dengan gagasan politik”.

Bukan hanya itu, setiap warga Negara yang memberikan kritik dengan tajam, yang dilandasi dengan kerangka berpikir mendalam akan dibatasi ruang geraknya untuk bersuara, hanya karena tidak sejalan dengan kebijakan pemerintah.

Sehingga, ketika kita berbicara mengenai demokrasi, tidak terlepas dari gagasan Cleisthenes yang dikenal sebagai bapak demokrasi dunia. Cleisthenes adalah seorang bangsawan Athena yang diasingkan dari keluarga aristokrasi Alkmaionid. Dia dikenal sebagai bapak demokrasi dunia karena gagasannya terhadap pembentukan dasar-dasar demokrasi di Athena pada tahun 570-508 sebelum masehi (SM). Beberapa gagasannya yang lahir yaitu reformasi konstitusi Athena, pembatasan kekuasaan bangsawan Athena, peningkatan kekuasaan mejelis Athena, dan pemberian hak-hak politik serta kebebasan masyarakat sipil dalam pemilihan perwakilan badan legislatif nasional.

Demagog berdasarkan KBBI adalah kaum penggerak atau pemimpin rakyat yang pandai menghasut dan membangkitkan semangat rakyat untuk mengedepankan kekuasaan semata. Secara keabsahan bahasa, demagog berasal dari bahasa Yunani yaitu demos berarti rakyat, dan agogos berarti penghasut yang dikonotasikan kepada (pemimpin) yang menyimpang dari pemikiran yang tidak rasional.

Jika dikorelasikan dengan panggung politik, demagog dapat diartikan sebagai pemimpin penggerak politik yang pandai mempengaruhi rakyat untuk mencapai tujuan kekuasaannya dengan cara menghasut, yang selalu mengedepankan harapan tanpa adanya pembuktian alias “POLITIK DUSTA”, dalam dialektika kaili disebut Dea Dava.

Demagogi seringkali kita jumpai dalam berbagai forum orator, kampanye politik yang menyampaikan pesan-pesannya dengan semangat yang membara, tanpa adanya data dan fakta politik sehingga yang ditawarkan hanyalah harapan semata tanpa adanya pembuktian.

Penyakit berikutnya yaitu narsisme. Narsisme merupakan perasaan cinta kepada dirinya sendiri dengan cara memuji diri sendiri secara berlebihan, tanpa menghiraukan orang yang ada di sekitarnya, dalam dialegtika kaili disebut “nopatende koro mboto”.

Dalam konteks politik, para narsisme seakan-akan mereka merasa dirinya berhasil dan prestasi yang dibuatnya semata-mata keberhasilan pribadi, tanpa memikirkan kesejahteraan rakyat yang telah memberikan dukungan kepadanya hingga terpilih.

Yang berikutnya, seringkali muncul di permukaan ketika dimulainya tahapan pesta demokrasi yaitu kaum populis. Jan-Werner Muller dalam karya-karyanya; “Menuju Teori Politik Populisme” dan kemudian kita bertanya “What is Populism”, Jan-Werner Muller mendefinisikan populisme sebagai “Bentuk eksklusif dari politik identitas yang cenderung mengedepankan sekte, yang tentunya mengancam konsep demokrasi”.

Kaum populis selalu membenarkan perilakunya sendiri dan mengklaim bahwa mereka sedang mewakili rakyat demi kebaikan bersama. Politik populisme harus dikritik karena membahayakan demokrasi.

Di Kabupaten Donggala sendiri, mulai banyak bermunculuan para aktor-aktor politik yang selalu mengedepankan pola dan strategi politik demagogi. Dalam narasi dan opini politiknya hanya mengandalkan hasutan semata demi melegalkan kepentingan politiknya. Selalu membicarakan tentang harapan. Setelah terpilih, tidak dibutkikan. Dengan tidak adanya gagasan yang menarik dan kerangka berfikir mendalam yang dilandasi dengan data dan fakta politik tentang bagaimana cara memajukan daerah Kabupaten Donggala, meningkatan kualitas SDM, membuka lapangan pekerjaan yang luas, meningkatkan kualitas ekonomi masyarakat desa, kesejahteraan petani, pekebun, nelayan serta problem dibidang kesehatan, dan lain-lain.

Oleh karenanya, kita tidak perlu heran lagi. Pastinya, kaum narsis dan populis akan semakin memajukan langkah mereka untuk menduduki jabatan eksekutif dan legislatif di wilayah Kabupaten Donggala.

Akan lebih berbahaya lagi, jika panggung politik di Kabupaten Donggala pada tahun 2024 mendatang diisi oleh orang-orang yang selalu mengedepankan demagogi dalam berpolitik, memberikan ruang yang luas kepada para kaum narsisme dan populisme untuk masuk dalam lembaga-lembaga pemerintahan.

Lembaga-lembaga pemerintahan seperti halnya eksekutif dan legislatif, institusi-institusi publik telah dikuasai oleh orang-orang yang mengidap penyakit Demagog, Narsis dan Populis. Sehingga yang bakalan terjadi kedepannya pasti ada politisi yang berjanji dengan mengatasnamakan rakyat. Namun ketika berkuasa, perilakunya justru menindas rakyat dan itu sudah terjadi di wilayah Kabupaten Donggala saat ini.

Apa akibatnya jika panggung politik di Donggala  dimuat dengan Pola dan Strategi Politik Demagogi serta memberikan ruang kepada para kaum narsisme dan populisme?

Ketika demokrasi yang diterapkan di Indonesia khusunya wilayah Kabupaten Donggala yang hanya diisi dengan pemahaman politik demagogi, serta selalu memberikan ruang kepada para kaum narsisme dan kaum populisme dalam panggung politik, justru akan menyebabkan virus di tengah masyarakat. Akan muncul anggapan bahwa politik itu kotor dengan segala rangkaian yang tidak bermoral dan politik mengalami pergeseran nilai, serta kualitas perilaku atau etika para aktor-aktor politik dalam kehidupan bernegara yang tidak menandakan sebagai seseorang yang berilmu, sebab hanya orang-orang yang memiliki ilmu pengetahuan yang sepantasnya menduduki jabatan politik karena mengurus kepentingan publik bukan kepentingan dirinya semata.

Pada pilkada tahun 2018 di wilayah Kabupaten Donggala, menjadi catatan sejarah penting dalam perhelatan akbar pesta demokrasi. Sebab, pada saat itu penerapan politik demagogi sangat nampak sekali di wilayah Kabupaten Donggala.

Hal itu dibuktikan dengan adanya sikap saling serang antar pendukung dari masing-masing paslon bupati dan wakil bupati Donggala dengan menggunakan kalimat-kalimat yang tidak mendidik, semisal : pemimpin dzalim, pemimpin kafir, perempuan tidak layak memimpin donggala, dea dava (pembohong), dan lain-lain. Ini merupakan salah satu bukti nyata, betapa berbahayanya demagogi politik. Apalagi yang memainkan peran politik demagog ini adalah kaum narsisme dan populisme yang hanya mengandalkan retorika semata. Tentu akan sangat mencederai pesta demokrasi yang seharusnya tidak menyebabkan polarisasi di tengah masyarakat.    

Esensi politik secara fundamental adalah sebagai usaha untuk mencapai kehidupan yang lebih baik dan peningkatan kesejahteraan rakyat, sebagaimana yang digagas oleh Plato dan Aristoteles dalam teori politik klasik yaitu ‘en dam onia’ atau the good life, telah mengalami pergeseran makna. Politik tidak lagi menjadi “good life”. Sebab, penerapannya hanya untuk kepentingan kekuasaan semata.

Politik mengalami pergeseran dan pendangkalan makna. Sejatinya, politik adalah bentuk usaha untuk mencapai suatu tatanan sosial yang baik dan berkeadilan. Akibatnya, masyarakat mengalami alergi terhadap politik. Masyarakat meyakini bahwa politik itu buruk, politik itu jahat, politik pencitraan, politik penuh intrik dengan segala rangkaian yang tidak bermoral seperti persepsi yang berkembang saat ini.

Selain itu, politik demagogi yang selalu diterapkan oleh para kaum narsisme dan populisme juga dapat menggeser esensi dan nilai subtansi dari demokrasi itu sendiri. Demokrasi yang berisi nilai-nilai yang luhur (seperti kesetaraan sosial, kesejahteraan masyarakat, kemakmuran, keadilan, kerakyatan), menjadi tergeser oleh hal-hal yang bersifat sensasional (seperti iklan politik, baliho kampanye, pemberitaan di media sosial dan lain sebagainya).

Kualitas perilaku para aktor-aktor politik pun semakin buruk, karena dicemari oleh perilaku-perilaku para kaum narsisme dan kaum populisme. Mereka berlomba-lomba meraup massa demi meraih kekuasaan dan menaikan citra dirinya hanya dengan bekal retorika dan moral, menebar janji-janji manis kepada rakyat, sedangkan kualitas narasi politik dan perilaku, serta etika para aktor politik ini sangat minim.

Jadi, kesimpulannya bahwa Pola dan Strategi Politik Demagogi yang selalu dikampanyekan para kaum narsisme dan populisme adalah penyakit demokrasi.

Kalau diterjemahkan dalam konteks perebutan kekuasaan dalam dunia politik, maka bisa bermakna bahwa seorang politisi atau penguasa tak perlu merasa lebih hebat.

Sebab, mereka pernah menghambahkan diri kepada rakyat untuk meraih simpati dan mendaptakan suara. Tanpa rakyat, mereka bukanlah siapa-siapa. Penguasa dan para politisi adalah orang-orang berilmu. Sebab, dengan adanya ilmu pengetahuan, mereka bisa menduduki jabatan politik. Jangan pernah mengotori ilmu tersebut hanya karena kekuasaan dan kepentingan politik semata.

Oleh: Ihlul Muhtadin | Tokoh Pemuda Kecamatan Sindue

Tinggalkan Balasan

Bos Mawas Kalteng Gali Data di Masyarakat Terkait Pemahaman dan Pengetahuan Atas Perubahan Iklim

1,5 Hektare Lahan di Sungai Sipai Terbakar