Jemaah dengan penyakit pneumonia menempati urutan pertama paling banyak dirawat di Klinik Kesehatan Haji Indonesia (KKHI) Makkah.
Sementara hingga Minggu (9/6/2024), penyakit jantung masih menjadi penyebab kematian utama bagi calon jemaah haji, dengan 56 jemaah haji wafat.
Menurut dokter spesialis paru dan pernapasan di KKHI Makkah, dr. Ali Asdar Sp.P, mengatakan pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme, yaitu bakteri, virus, jamur, dan protozoa.
“Pengobatan yang ada di KKHI sudah memadai, ada pemeriksaan laboratorium, dan pemeriksaan X Ray sehingga jemaah-jemaah yang dirawat sudah mengalami perbaikan klinis,” kata dr. Asdar melalui keterangan resmi yang dikutip dari InfoPublik.id, Rabu (12/6/2024).
Berdasarkan penelitian di berbagai negara, bakteri gram positif merupakan penyebab utama pneumonia komunitas.
Hal ini menunjukkan bahwa dalam 10 tahun terakhir terjadi perubahan pola kuman pada pneumonia komunitas di Indonesia.
Bahkan, mungkin di negara-negara lain sehingga perlu penelitian lebih lanjut. Terdapat beberapa faktor risiko yang berkontribusi secara signifikan terhadap risiko infeksi pneumonia komunitas, antara lain usia, kebiasaan merokok, paparan lingkungan yang tidak sehat, malnutrisi, gangguan fungsi tubuh, kebersihan mulut yang buruk.
Kemudian penggunaan terapi imunosupresif, penggunaan steroid oral, dan penggunaan obat penghambat sekresi asam lambung. Selain itu, resistensi antibiotik, peningkatan populasi usia lanjut, dan tingginya populasi dengan komorbiditas kronik juga turut berkontribusi terhadap peningkatan risiko infeksi pneumonia.
Menurut dr. Asdar, komorbiditas yang dikaitkan dengan pneumonia komunitas antara lain penyakit respirasi kronik (seperti penyakit paru obstruktif kronik/PPOK atau asma), penyakit kardiovaskular, gagal jantung kongestif, diabetes melitus, penyakit ginjal atau hati kronik, dan penyakit serebrovaskuler seperti stroke.
Dr. Asdar menjelaskan, sebagian besar pasien pneumonia komunitas menunjukkan perbaikan klinis dalam 72 jam pertama setelah pemberian antibiotik awal.
Namun, diperkirakan 6-15 persen pasien pneumonia komunitas yang dirawat tidak menunjukkan respons dalam jangka waktu tersebut, dan tingkat kegagalan mencapai 40 persen pada pasien yang langsung dirawat di ICU.
“Jika setelah diberikan pengobatan secara empiris selama 48-72 jam tidak ada perbaikan, diagnosis, faktor-faktor pasien, obat-obat yang telah diberikan, dan bakteri penyebabnya harus ditinjau kembali,” ujar dr. Asdar.
Penyebab paling sering kegagalan pengobatan pneumonia adalah faktor pemicu, dan bukan ketidaktepatan pemilihan antibiotik. Faktor ini meliputi beratnya penyakit, keganasan, pneumonia aspirasi, dan penyakit saraf.
Sementara itu, kurang responsif terhadap antibiotik awal mungkin disebabkan oleh kuman yang resisten, kuman yang jarang ditemukan (legionella, virus, jamur termasuk pneumocystis jiroveci, tuberkulosis), atau komplikasi pneumonia seperti obstruksi pasca-pneumonia, abses, empyema, atau super infeksi nosokomial.
Berbagai keadaan spesifik yang mungkin menyebabkan tidak responsnya pasien terhadap pengobatan pneumonia dapat diatasi jika diagnosis pneumonia telah ditegakkan. Antibiotik harus segera diberikan.
Pemeriksaan mikrobiologi hanya dilakukan pada pasien rawat inap dengan pneumonia berat atau yang memiliki faktor risiko infeksi patogen multiresisten. Pemberian antibiotik harus dimulai dalam 1 jam sejak pasien masuk RS.
Pemberian antibiotik dievaluasi secara klinis dalam 24-72 jam pertama. Jika terdapat perbaikan klinis, terapi dapat dilanjutkan. Namun, jika terjadi perburukan, antibiotik harus diganti sesuai hasil biakan atau pedoman empiris.
Ada beberapa langkah yang harus dilakukan apabila pasien tidak responsif, yaitu pindahkan pasien ke pelayanan rujukan yang lebih tinggi, lakukan pemeriksaan ulang untuk diagnosis, lakukan pemeriksaan invasif jika perlu, dan berikan antibiotik sesuai hasil biakan resistensi (terapi definitif).
dr. Asdar menjelaskan Pneumonia dapat menimbulkan komplikasi yang memerlukan tata laksana tambahan untuk menurunkan kesakitan dan kematian, karena jika pneumonia terus berlanjut akan mengalami perburukan.
Seperti efusi pleura, empiema toraks, abses paru, sepsis, syok sepsis, gagal nafas dan acute respiratory distress syndrome (ARDS) serta kematian.
Data dari beberapa RS besar di Indonesia pada 2020-2021 menunjukkan bahwa, berdasarkan pemeriksaan sputum, penyebab terbanyak pneumonia komunitas di ruang rawat inap adalah kuman gram negatif.
“Yaitu Klebsiella pneumoniae, Escherichia coli, Acinetobacter baumannii, dan Pseudomonas aeruginosa. Selain itu, bakteri gram positif seperti Staphylococcus haemolyticus juga sering ditemukan,” kata dr. Asdar.